Dari Efisiensi ke Resiliensi: Wajah Baru Industri dan Logistik Global

Tuesday, 30 December 2025

Baru-baru ini, Knight Frank merilis publikasinya yang bertajuk Balancing Acts: Corporate Real Estate in 2026. Salah satu bahasannya yaitu mengenai kondisi industri dan logistik dunia yang diprediksi akan mengalami banyak perubahan pada tahun depan, terkhusus pergeseran sistemnya. 

Globalisasi yang terjadi oleh perdagangan dunia masih terjadi hingga detik ini. Namun, sistem didalamnya menjadi rapuh karena beberapa hal, seperti stabilitas politik yang tidak terpercaya, aturan tarif US, dan ketegangan regulasi. Dengan ini, prinsip utama yang mengedepankan “efisiensi” sekarang bergeser ke “resiliensi” yang dapat diartikan sebagai jawaban dari “bagaimana sektor ini bertahan ketika adanya kerapuhan yang melanda?”

Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah Tarif US. Seperti yang kita ketahui, tarif sangat berdampak terhadap sektor industri. Misalnya saja, pabrik-pabrik padat karya seperti alas kaki dan garmen asal China yang beramai-ramai migrasi ke Indonesia karena perbedaan tarif yang cukup drastis.

Dengan ini, beberapa pemain juga sudah memandang peristiwa tarif ini sebagai new normal, bukan lagi kebijakan yang bersifat sementara. 

Selain itu, sistem produksi dengan mantra Just-In-Time yang meminimalkan penyimpanan, produksi yang terkonsentrasi, dan jalur logistik yang hanya satu atau dua juga mengalami pergeseran. Sekarang, sistem produksi yang diimplementasikan adalah Just-In-Case, yaitu perusahaan mulai menyebar pemasok, menyimpan stok cadangan, dan menyediakan jalur logistik paralel.

Rantai pasokan yang terfokus pada satu negara seperti cina juga mengalami perubahan menjadi rantai pasokan multipolar. Meskipun yang utama masih di China, beberapa diantaranya sudah memiliki basis kedua dan ketiga di asia, seperti Vietnam dan Indonesia. Selain itu, terdapat juga India dengan pasar domestik yang masif, Eropa timur yang berperan sebagai nearshoring untuk Eropa, serta Mexico yang berperan sebagai nearshoring untuk Amerika Serikat.

Pergeseran sistem ini membawa konsekuensi biaya yang lebih tinggi. Dalam pendekatan baru, kontinuitas bisnis menjadi mahal karena perusahaan harus membayar sewa yang lebih tinggi untuk lokasi strategis, menyediakan kapasitas cadangan yang tidak selalu terpakai, serta menerima penurunan efisiensi akibat operasi yang semakin tersebar. 

Dengan aset dan aktivitas yang tersebar di berbagai lokasi, tantangan utama perusahaan pun bergeser. Fokus tidak lagi pada ekspansi fisik semata, melainkan pada kemampuan mengelola kompleksitas sistem secara menyeluruh. Orkestrasi menjadi kunci, di mana koordinasi lintas lokasi, pemanfaatan sistem digital bersama, serta simulasi gangguan operasional menjadi elemen penting untuk memastikan bisnis tetap berjalan saat terjadi disrupsi.

Perubahan ini juga mencerminkan pergeseran budaya korporasi, khususnya di sektor logistik. Aset real estat kini dipandang sebagai bagian dari infrastruktur dengan ketahanan operasional yang kuat, bukan hanya komponen biaya. Nilai properti tidak lagi diukur dari harga atau tingkat okupansi, tetapi dari kemampuannya mendukung fleksibilitas, keandalan, dan resiliensi rantai pasok.

 

Nama : Jovan Rafkhansa

Sumber : 
https://kfmap.asia/research/balancing-acts-corporate-real-estate-in-2026/4505

https://ekonomi.bisnis.com

Share:
Back to Blogs