Ruang ketiga atau third space adalah konsep yang menguraikan bagaimana sebuah ruang dapat menjadi titik temu masyarakat untuk beristirahat dari rutinitas serta untuk berinteraksi. Secara fisik, ruang ketiga dapat berupa taman kota, kafe, perpustakaan, atau area publik lain yang bukan rumah (ruang pertama) maupun tempat kerja (ruang kedua).
Edward Soja, seorang geografer asal Amerika Serikat, menjelaskan bahwa ruang ketiga lebih dari sekadar lokasi fisik, namun gabungan antara ruang nyata (first space) dan ruang imajiner-konseptual (second space). Maksudnya, setiap individu tidak hanya hadir secara fisik, tetapi membawa imajinasi, memori, dan interaksi sosial sehingga tumbuhnya relasi serta kreativitas budaya di ruang ketiga.
Dalam konteks kota besar, seperti Jakarta, kehidupan yang padat membuat masyarakat membutuhkan ruang ketiga sebagai tempat rekreasi dan beristirahat. Mal menjadi salah satu bentuk ruang rekreasi komersial yang umum dimanfaatkan, karena mampu menyediakan beragam aktivitas.
Namun, mal hanya dapat berfungsi sebagai ruang ketiga apabila mampu memberikan pengalaman ruang yang nyaman, menarik, dan mendukung interaksi sosial. Ketika tenant tidak beragam dan sirkulasi ruang tidak mendorong eksplorasi, mal dapat kehilangan daya tarik dan gagal memenuhi perannya sebagai ruang ketiga.
Maka diperlukannya transformasi pada mal-mal, seperti mengikuti perubahan gaya hidup masyarakat. Dengan berkembangnya teknologi dan maraknya belanja online, motivasi berkunjung ke mal pun tidak lagi sekedar untuk berbelanja, tetapi untuk mencari pengalaman, kenyamanan, dan ruang sosial yang tidak dapat digantikan secara digital.
Upaya yang dilakukan dapat dimulai dari pihak pengelola, dengan pembagian koridor tenant yang jelas, anchor tenant yang menarik, adanya ruang terbuka dan vegetasi, serta pola sirkulasi yang fleksibel agar pengunjung terdorong untuk menjelajahi ruang mal.
Laporan Jakarta Retail Market Overview 1H 2025 yang dipublikasikan oleh Knight Frank Indonesia, memperlihatkan mal di Jakarta semakin berfungsi sebagai ruang ketiga. Hal ini terlihat dari kenaikan foot traffic meski terdapat indikasi pelemahan daya beli, sehingga menunjukkan bahwa pengunjung tetap datang untuk bersantai dan bersosialisasi.
Laporan ini juga menunjukkan ekspansi retail terbesar di Jakarta pada semester pertama 2025, di antaranya dari sektor F&B, hiburan, dan beauty/cosmetics. Ketiga sektor ini mendorong interaksi sosial dan memperpanjang waktu kunjungan di mal, sehingga pelaku usaha kini semakin fokus berekspansi mengikuti minat masyarakat yang dinilai mampu meningkatkan traffic pengunjung.
Arah ekspansi ini selaras dengan kinerja mal yang berhasil menyediakan pengalaman berbasis aktivitas sosial. Tercermin dari tingginya tingkat okupansi pada mal Premium Grade A sebesar 92,18% dan mal Grade A sebesar 90,9%.
Selain penyediaan fasilitas di dalam mal, program komunitas, seperti pertunjukan musik, pameran seni, hingga festival tematik juga semakin sering dilakukan untuk menumbuhkan suasana sosial yang hidup, sekaligus menambah daya tarik.
Transformasi ini menjadikan mal berkembang lebih jauh sebagai ruang ketiga, yakni dari ruang transaksi menjadi ruang pengalaman, serta mendukung terbentuknya komunitas urban yang lebih aktif dan terhubung.
Penulis : Ratih Putri Salsabila
Sumber :
https://kfmap.asia/research/jakarta-retail-market-overview-1h-2025/4406
https://www.goethe.de/
https://industri.kontan.co.id/
https://kc.umn.ac.id/
https://itb.ac.id/berita/