Di tengah kegundahan akan keberadaan sertifikat tanah palsu, sebaiknya kita memahami setidaknya salah satu karakteristik unik dari sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN, adalah penulisan ‘“sertipikat” yang melenceng dari tatanan kata baku Bahasa Indonesia. Lantas, dari mana asal kata sertipikat dan mengapa kesalahan kata baku ini masih dipertahankan?.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sertifikat didefinisikan sebagai tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan atau suatu kejadian. Sementara itu, sertifikat tanah memiliki definisi surat bukti pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Sejatinya, kata sertipikat merupakan serapan dari Bahasa Belanda certificaat yang artinya sertifikat. Asal mula kata sertipikat dapat ditelusuri dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur tentang hak atas tanah dan banyak dipengaruhi oleh hukum agraria Belanda peninggalan penjajahan.
Namun, UUPA hanya menyebutkan secara umum mengenai dokumen pembuktian hak atas tanah. Setelah itu, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah lahir sebagai bentuk teknis pengesahan dokumen hak atas tanah.
Kata sertipikat pertama kali muncul dalam PP tersebut, tepatnya di Pasal 12 ayat 3 yang berbunyi, “Salinan buku-tanah dan surat-ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas-sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertipikat dan diberikan kepada yang berhak”.
Kemudian, DPR mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang dan menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah).
Kata sertipikat tidak diganti dengan ejaan kata baku terbaru dalam aturan tersebut sehingga penggunaannya masih berlangsung hingga saat ini. Perubahan kata sertipikat menjadi sertifikat dapat berdampak pada pembaruan seluruh sertifikat tanah yang sudah beredar di masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena sertipikat tanah sudah bertahan beberapa dekade.
Dengan demikian, “sertipikat” menjadi kata teknis yang merujuk pada dokumen sertifikat hak atas tanah berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Keunikan ini menjadi ciri khas dokumen sehingga keaslian sertifikat hak atas tanah dapat ditelaah dari hal kecil tersebut. Jika ragu mengenai keaslian sertifikat tanah, segera cek keasliannya dan jangan ragu untuk berkonsultasi dengan pihak berwenang atau profesional untuk menangani masalah pertanahan.
Penulis: Dita Aulia Oktaviani
Sumber:
https://www.hukumonline.com/
https://kot-salatiga.atrbpn.go.id/
https://lipan-ri.org/
https://mojok.co/