Eigendom Verponding Bukan Sertipikat: Waspadai Risiko Kehilangan Tanah

Friday, 15 August 2025

Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sertipikat tanah, kita masih dapat menemui banyaknya pemegang dokumen lama, seperti Eigendom Verponding yang tidak mengetahui regulasi terkait keabsahan dokumen tersebut. Kondisi ini kerap menjadi sumber masalah hukum, atau kebijakan administrasi pertanahan yang berlaku. Untuk itu, pemilik tanah perlu memahami aturan yang berlaku agar terhindar dari sengketa maupun kehilangan hak atas tanah.

Hak Tanah Eigendom Verponding merupakan istilah yang merujuk pada tanah bekas hak barat Eigendom atau hak milik versi hukum kolonial Belanda, yang dibuktikan dan dikenakan pajak melalui dokumen Verponding.

Hak Eigendom pada masa Hindia Belanda menjadi hak kepemilikan terkuat dalam sistem hukum barat, tetapi sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960, seluruh hak barat, termasuk Eigendom wajib dikonversi menjadi hak-hak tanah nasional.

Menurut ketentuan konversi pada Pasal 1 ayat (1) UUPA, Eigendom yang dimiliki warga negara Indonesia berubah menjadi Hak Milik (SHM). Sementara itu, jika pemegangnya adalah orang asing atau badan hukum yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Milik, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUPA, hak tersebut berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB).

Proses konversi ini bersifat otomatis secara hukum, namun tetap diperlukan penegasan hak dan pendaftaran ke Kantor Pertanahan, agar sertipikat resmi dapat diterbitkan.

Hal ini dikarenakan, dokumen Eigendom Verponding bukanlah sertipikat tanah, melainkan bukti penguasaan atau pembayaran pajak pada masa lalu yang dapat digunakan sebagai alas bukti dalam proses pendaftaran hak, sebagaimana ditegaskan oleh Kementerian ATR/BPN.

Landasan hukum terkait aturan tersebut diatur dalam UUPA, Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak, serta PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Lebih lanjut, dalam Pasal 24  PP Nomor 24 Tahun 1997, menjelaskan bahwa pembuktian hak lama dapat dilakukan dengan bukti tertulis (dokumen Eigendom Verponding) dan bukti penguasaan fisik minimal 20 tahun secara terus-menerus, dengan terbuka serta adanya saksi. 

Ketentuan ini selanjutnya diperbarui oleh PP Nomor 18 Tahun 2021, yang mengatur alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku sebagai bukti kepemilikan, sehingga pendaftaran didasarkan pada pernyataan penguasaan fisik dan saksi. Oleh sebab itu, konsultasi ke Kantor Pertanahan sangat disarankan untuk menyesuaikan teknis berkas, agar sertipikat resmi dapat diterbitkan.

 

Penulis: Ratih Putri Salsabila

Sumber: 

https://www.kompas.com/

https://www.atrbpn.go.id/

https://bphn.go.id/data/

https://peraturan.bpk.go.id/

Share:
Back to Blogs