Pemanfaatan tanah yang optimal merupakan salah satu kunci penting dalam pembangunan nasional. Namun dalam praktiknya, masih banyak tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Milik (SHM) yang justru dibiarkan terlantar tanpa dimanfaatkan sesuai peruntukannya.
Menyikapi hal ini, pemerintah melalui PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Terlantar, memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil alih tanah-tanah yang tidak produktif tersebut. Lantas, bagaimana sebenarnya ketentuan penertiban tanah terlantar ini, serta siapa saja yang berpotensi terkena dampak?
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid dalam pernyataannya di Kalimantan Selatan (31/7/2025) menegaskan, “Tanah yang dibiarkan menganggur selama 2 tahun sejak hak diterbitkan berpotensi dicabut dan dikembalikan ke negara”. Di samping itu, Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini tidak berlaku untuk tanah adat, karena statusnya yang khusus dalam sistem hukum agraria Indonesia.
Adanya kebijakan ini, didasari data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional tahun 2024, bahwa terdapat 99.099,27 hektar tanah di 23 provinsi Indonesia yang ditetapkan sebagai tanah terlantar. Tanah-tanah ini seharusnya dapat mendorong pertumbuhan sektor pertanian, perkebunan, hingga properti.
Jonahar selaku Dirjen PPTR Kementerian ATR/BPN juga menyampaikan, jika tanpa adanya pengawasan yang efektif, tanah terlantar justru digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai peruntukannya, serta berisiko menimbulkan sengketa antara pemilik tanah dan pihak lain.
Oleh sebab itu, terdapat perbedaan mendasar dalam penertiban tanah berdasarkan jenis haknya. Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan untuk usaha pertanian, perkebunan, atau peternakan di atas tanah negara dengan masa berlaku maksimal 35 tahun (dapat diperpanjang 25 tahun), berisiko dicabut jika dalam 2 tahun pertama tidak ada aktivitas usaha.
Pemegang HGU juga wajib membuktikan pemanfaatan tanah melalui laporan progress untuk menghindari sanksi cabutan, sama halnya dengan Hak Guna Bangunan (HGB) yang berlaku 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.
Sementara itu, Hak Milik (SHM) berbeda dengan kedua hak tersebut. SHM sebagai hak tanah tertinggi dengan kepemilikan permanen hanya untuk WNI, memiliki perlindungan yang lebih kuat.
Pencabutan SHM memerlukan proses hukum dan baru dapat dilakukan, jika tanah masuk dalam kategori ditelantarkan, yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2021 berikut:
Untuk HGU dan HGB, Kementerian ATR/BPN akan memberikan 3 kali peringatan resmi dalam kurun waktu 6 bulan sebelum akhirnya mencabut hak atas tanah. Sementara pencabutan SHM, hanya dapat dilakukan melalui pengadilan dan proses hukum yang panjang. Dengan memahami aturan ini, diharapkan pemegang hak tanah dapat lebih bijak mengelola asetnya.
Penulis: Ratih Putri Salsabila
Sumber:
https://kfmap.asia/blog/menjaga-hak-atas-tanah-warisan-pahami-aturannya/3903
https://www.kompas.com/
https://news.detik.com/
https://peraturan.bpk.go.id/
https://www.atrbpn.go.id/