Memaknai Hari Ibu, Sudahkah Kota Kita Ramah bagi Perempuan?

Tuesday, 30 December 2025

Setiap tahunnya, tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia. Perayaan ini memiliki makna historis, yang berakar pada Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada 22 - 25 Desember 1928, sebagai tonggak kebangkitan dalam perjuangan hak perempuan Indonesia.

Untuk mengenang momentum tersebut, pemerintah menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959, dengan tujuan menghormati dan mengapresiasi kontribusi perempuan Indonesia, baik di dalam keluarga maupun dalam pembangunan nasional.

Namun, penghargaan terhadap peran perempuan tidak berhenti pada peringatan simbolik, melainkan harus tercermin dalam kondisi nyata yang menjamin keamanan dan kesejahteraan perempuan, sehingga muncul pertanyaan “apakah kota sebagai ruang hidup dan aktivitas utama masyarakat telah benar-benar dirancang agar ramah bagi perempuan?”.

Data dari Suku Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAP) Jakarta Pusat menunjukkan bahwa, sepanjang Januari hingga Desember 2024, tercatat 228 kasus kekerasan yang terdiri atas 101 kasus terhadap perempuan (44%), 91 kasus terhadap anak perempuan (40%), dan 36 kasus terhadap anak laki-laki (16%). 

Sebagian kasus tersebut ditemukan di sejumlah Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), seperti di RPTRA Kebon Melati sebanyak 39 kasus, RPTRA Pulo Gundul sebanyak 45 kasus, RPTRA Planet Senen sebanyak 39 kasus, RPTRA Harapan Mulia sebanyak 33 kasus, dan RPTRA Madusela sebanyak 20 kasus.

Temuan ini menunjukkan bahwa kota dengan ruang publiknya, masih belum sepenuhnya mampu memberikan rasa aman bagi perempuan. Oleh karena itu, penting untuk melihat lebih jauh apa yang dimaksud dengan kota ramah perempuan, serta prinsip-prinsip yang seharusnya diwujudkan.

Perencanaan kota ramah perempuan adalah pendekatan tata kota yang menekankan pentingnya keamanan di ruang publik, akses yang dekat ke layanan dasar, serta keterlibatan perempuan dalam perencanaan kota melalui pengalamannya.

Pengalaman perempuan menjadi dasar perwujudan kota dengan pencahayaan yang terang, transportasi dan ruang publik yang aman, serta lingkungan hunian yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga perempuan dapat beraktivitas tanpa rasa takut dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Sebagai upaya mewujudkan kota ramah perempuan, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menjalankan program Ruang Bersama Indonesia (RBI), yang berfokus pada penyediaan ruang publik aman serta keterlibatan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kelurahan Rawa Buaya, Jakarta Barat menjadi salah satu contoh penerapan RBI sebagai ruang publik yang aman, sekaligus sarana pelatihan keterampilan perempuan, kegiatan edukatif anak, dan penguatan UMKM, guna membangun kesadaran masyarakat agar lebih ramah serta mendukung perempuan.

Contoh lain terlihat di kawasan TOD Dukuh Atas Jakarta, trotoar didesain lebar, terang, serta terhubung langsung dengan transportasi umum, area komersial, dan perkantoran. Kedekatan tersebut menjadikan kawasan ini selalu ramai, sehingga meningkatkan rasa aman bagi perempuan, karena pengawasan sosial terjadi secara alami melalui kehadiran dan aktivitas masyarakat sehari-hari.

Implementasi ini menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam perencanaan kota, yang didukung kebijakan pemerintah, akan mampu menciptakan kota yang lebih inklusif dan ramah bagi perempuan.

 

 

Penulis : Ratih Putri Salsabila

Sumber : 

https://kemenpppa.go.id/

https://www.antaranews.com/

https://komnasperempuan.go.id/

https://www.kompas.com/

https://www.detik.com/

Share:
Back to Blogs