Lika Liku Pertumbuhan Perkantoran Berbasis Hijau di Jakarta

Friday, 8 August 2025

Operasional gedung hijau, adalah salah satu dari bentuk implementasi mencapai pembangunan berkelanjutan.

Menurut World Green Building Council, operasional gedung/bangunan merupakan sumber emisi terbesar dalam pembangunan, yaitu sekitar 40% dari total kegiatan pembangunan yang umumnya berlaku di perkotaan.

SDGs (Sustainable Development Goals) sebagai kesepakatan global telah diterapkan sejak tahun 2015, dengan target pencapaian pada 2030. Indonesia termasuk di antara negara yang secara aktif melakukan pelaporan dan penghitungan kemajuan terhadap tujuan-tujuan ini, termasuk dalam upaya pengurangan emisi karbon. Selain itu, Indonesia juga menargetkan menjadi negara maju dan netral karbon pada tahun 2045, dan strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon.

Pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakan, menerbitkan peraturan sejak tahun 2015 untuk mulai mengimplementasikan program yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan, dan memberikan indikasi penghitungan untuk menilai efektivitas program tersebut.

Pembangunan berkelanjutan, sejatinya menjadi tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan. Tidak hanya Pemerintah, tetapi juga private sector, dan masyarakat luas.

Private sector, dalam sektor properti, para pemangku kepentingan mulai bergerak pada operasional gedung hijau. Sejak tahun 2019, proses implementasi gedung hijau mulai memasuki masa pertumbuhannya.

Pengenalan dan sosialisasi gedung hijau telah mulai dilakukan Pemerintah pada awal tahun 2000. Saat itu, beberapa gedung di bilangan Sudirman Jakarta telah mulai menerapkan operasional efisiensi energi dan air, meski belum secara formal mendapatkan sertifikat hijau.

Sepuluh tahun berikutnya, sekitar tahun 2010-2014 beberapa gedung pada kelas premium mulai mendapatkan sertifikat hijau, meski sertifikasi tergolong mahal, rumit dan belum ada insentif dari pemerintah. Namun, hal ini merupakan bentuk komitmen pengembang terhadap kesepakatan global dan membangun image positif atas produknya di pasar properti.

Setelah fase itu, sekitar tahun 2015-2019, tidak hanya gedung baru, tetapi gedung lama mulai beradaptasi menyediakan fitur ‘hijau’ dengan melakukan retrofit. Seiring dengan penyewa global mulai sering mengacu pada gedung dengan sertifikat hijau, dan pasar mulai menyadari manfaat jangka panjang dari efisiensi energi dan air. 

Berikutnya, pada sekitar tahun 2020-2024, tren mulai terlihat dengan adanya lonjakan permintaan dari penyewa global yang terus konsisten menyasar pada gedung hijau, sehingga pertumbuhan pasokan gedung hijau meningkat sekitar 17% per tahun dalam periode ini. Seiring dengan optimisme tersebut, harga sewa juga cenderung stabil dibandingkan dengan harga sewa pada gedung kantor konvensional.

Ke depan, gedung hijau tidak lagi menjadi opsi, tetapi menjadi standar minimum dalam pengembangan ruang perkantoran. Selain karena permintaan pasar yang mulai bergeser, juga didukung oleh insentif Pemerintah atas gedung hijau, seperti insentif pajak, atau KLB.

Saat ini, gedung perkantoran hijau ada sekitar 37% dari total gedung perkantoran yang berada di CBD Jakarta. Jumlah ini tergolong cukup progresif dan signifikan pertumbuhannya dalam 5 tahun terakhir. Menjadi asa yang cukup cerah dalam menapaki pembangunan berkelanjutan dari sektor properti.

Di Asia Pasifik, misalnya Singapura yang memiliki 73% gedung perkantoran hijau dari seluruh total gedung perkantoran yang ada. Sementara itu, Kuala Lumpur juga memiliki catatan pertumbuhan gedung hijau yang cukup progresif.

 

Penulis : Syarifah Syaukat

Sumber:

https://www.knightfrank.com/research/report-library/why-esg-matters-a-guide-for-occupiers-october-2022-9422.aspx

https://www.lowcarbondev-support.org/indonesia-lts

https://kfmap.asia/research/jakarta-cbd-office-market-overview-2h-2024/3999

Share:
Back to Blogs