Perjalanan dari rumah ke tempat kerja tentunya menjadi rutinitas bagi sebagian besar pekerja. Jarak antara rumah ke kantor mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Pengalaman commute individu berbeda-beda di setiap tempat, tergantung pada infrastruktur dan faktor lainnya.
Berdasarkan laporan The Quality of Life Report - Building a Liveable City dari Knight Frank Singapore, pekerja Singapura memilih bekerja secara hybrid. Laporan tersebut memuat hasil survei dari 1000 partisipan dari berbagai jenjang usia dan lini pekerjaan.
Sebanyak 44% partisipan memilih skema bekerja hybrid, dengan pembagian yang jelas dan seimbang antara hari kerja di kantor dan remote. Pilihan tersebut salah satunya didukung oleh alasan efisiensi commuting ke tempat bekerja.
Di sisi lain, 20% responden memilih untuk menanggung beban commuting lebih lama dengan alasan hunian terjangkau. Mereka berkeinginan untuk mendapat hunian yang lebih luas dengan harga bersahabat serta lingkungan lebih tenang di area suburban. Terlebih pada pekerja hybrid, prioritas hunian nyaman lebih diutamakan dibandingkan fasilitas pusat kota, sebab integrasi MRT memudahkan commuting warga Singapura.
Sementara di Indonesia, khususnya di Jakarta yang kapasitasnya hampir sama dengan Singapura, banyak pekerja commuter berasal dari Jabodetabek. Berdasarkan Statistik Komuter Jabodetabek 2023 oleh BPS, mayoritas commuter Jabodetabek berasal dari Kota Depok. Sejumlah 24% penduduk Depok merupakan pekerja commuter.
Alasan para pekerja melakukan commuting juga masih sama seperti Singapura, commuter memilih tempat tinggal yang lebih murah di sekitar kota tempat bekerja. Mayoritas pekerja commuter bertujuan menuju Jakarta Selatan. Lokasi ini terhubung dengan jaringan transportasi umum strategis pusat ekonomi, yakni SCBD.
Namun, commuter Jabodetabek sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi. 79% atau sekitar 3 juta orang berkendara menuju tempat bekerja tidak dengan memanfaatkan kendaraan umum. Sayangnya 67,3% diantaranya pernah mengalami kemacetan selama berkendara. Hal ini tentunya berdampak buruk pada kualitas hidup pekerja.
Perbandingan kualitas commute ini banyak dipengaruhi oleh penyediaan sarana prasarana transportasi di kedua kota tersebut. Meskipun alasan commute keduanya sama-sama didorong oleh hunian murah suburban, Singapura masih memiliki pilihan yang lebih baik karena koneksi transportasi umum yang masif.
Di lain sisi, Jakarta terus berkembang melalui proyek transportasi umum yang terus digenjot capaiannya. Terkini, MRT terus dibangun untuk fase dua dan perpanjangan hingga Balaraja. Sama halnya dengan LRT, yang masih proses pembangunan untuk tambahan rute.
Lebih lanjut, kualitas hidup bersifat kompleks dan banyak aspek yang mempengaruhi. Pada laporan Knight Frank tersebut, live and play turut menjadi pertimbangan dalam survei kualitas hidup. Dengan ini, kualitas hidup antara satu tempat dengan tempat lainnya bersifat lokal dan tidak bisa disamaratakan.
Penulis: Dita Aulia Oktaviani
Sumber:
https://www.bps.go.id/id
https://www.knightfrank.com/research/report-library/the-quality-of-life-report-building-a-liveable-city-2025-12308.aspx