Garis Sempadan Bangunan (GSB) merupakan garis batas minimal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah untuk menentukan jarak terdepan sebuah bangunan dari batas tertentu, seperti jalan, sungai, pantai, saluran air, dan lahan tetangga.
GSB telah diatur dalam berbagai peraturan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan gedung, yang menyatakan penyelenggaraan bangunan gedung wajib memenuhi persyaratan tata bangunan, termasuk persyaratan Garis Sempadan Bangunan.
Sementara itu, dalam Permen PUPR Nomor 16 Tahun 2021 menjelaskan lebih rinci mengenai penentuan GSB, termasuk ketentuan teknis yang harus dipenuhi saat pembangunan gedung, seperti jarak minimum dari jalan, saluran air, sungai, dan utilitas publik lainnya.
Meskipun Garis Sempadan Bangunan (GSB) sudah diatur dalam regulasi terkait tata kota, tetapi masih kerap terjadi pelanggaran, terutama di kawasan perkotaan padat penduduk. Mulai dari bangunan rumah tinggal, ruko, warung kaki lima, hingga gedung besar yang tidak sedikit dibangun melampaui batas sempadan yang diperbolehkan.
Dari berbagai kasus terkait GSB, diantaranya kasus pelanggaran GSB di kawasan perkotaan, baru saja terjadi di Kota Banda Aceh. Pada April 2025, Pemerintah Kota Banda Aceh menertibkan 29 tempat usaha yang melanggar GSB, seperti kafe, rumah makan, rumah kos, gudang, dan fasilitas kesehatan.
Pelanggaran tersebut, mencakup penambahan kanopi dan pemanfaatan area parkir sebagai ruang usaha yang melanggar Perwal Nomor 44 Tahun 2010 dan Qanun Nomor 10 Tahun 2004. Illiza Sa’aduddin Djamal selaku Wali Kota Banda Aceh, memimpin langsung penertiban dengan pendekatan humanis dan dialog bersama pemilik usaha.
Lalu, mengapa pelanggaran GSB masih terjadi?
Terdapat beberapa faktor pelanggaran GSB yang masih terjadi, seperti kurangnya pemahaman masyarakat terutama pemilik bangunan mengenai GSB dan konsekuensinya. Hal ini mendasari anggapan mereka, selama lahan milik pribadi maka dapat dibangun sesuka hati, tetapi hal ini tentunya keliru karena ruang kota harus dikelola secara kolektif demi keteraturan dan kesalamatan bersama.
Selain itu, Harga tanah yang mahal dan keterbatasan lahan juga mendorong pemilik bangunan untuk memaksimalkan luasan bangunannya. Kurangnya pengawasan pemerintah daerah dan tidak adanya sistem pelaporan pelanggaran yang efektif, sehingga banyak pelanggaran yang tidak ditindak.
Beberapa pelanggaran juga muncul karena proses perizinan yang tidak transparan atau adanya oknum yang meloloskan izin pembangunan gedung tanpa memperhatikan ketentuan GSB yang berlaku.
Pelanggaran GSB tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga menimbulkan dampak yang mengganggu aktivitas masyarakat, seperti kemacetan dan penyempitan jalan, risiko kebakaran karena akses pemadam sulit, kerugian ekonomi akibat bangunan yang dibongkar paksa, hingga terbentuknya kesan kota yang tidak tertata rapi atau kumuh.
Melihat kondisi ini tentunya diperlukan beberapa usaha untuk mengatasinya, seperti adanya sosialisasi GSB secara aktif, digitalisasi perizinan dan pengawasan, serta penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Dengan demikian, pelanggaran GSB bukan hanya tentang disiplin membangun, tetapi juga mengenai kesadaran masyarakat terhadap keteraturan kota.
Penulis: Ratih Putri Salsabila
Sumber:
https://kfmap.asia/blog/sanksi-untuk-pelanggaran-garis-sempadan-bangunan/2918
https://kfmap.asia/blog/ingin-membangun-gedung-besar-pelajari-dulu-aturan-jarak-bebas-bangunan/3508
https://diskominfo.bandaacehkota.go.id/
https://peraturan.bpk.go.id/
https://www.satukanindonesia.com/