Land subsidence atau penurunan muka tanah adalah fenomena alam penurunan muka tanah yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen permukaan tanah. Hal ini sedang ramai dibicarakan karena di kota Jakarta, hal ini telah terdeteksi sejak tahun 1980-an.
Penurunan muka tanah disebabkan oleh beberapa hal yang pertama yaitu penurunan muka tanah alami yang disebabkan oleh proses-proses geologi seperti aktivitas vulkanik dan tektonik, siklus geologi, adanya rongga di bawah permukaan tanah dan sebagainya.
Penyebab yang kedua yaitu penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pengambilan bahan cair dalam tanah seperti air tanah atau minyak bumi. Penyebab lainnya adalah penurunan muka tanah yang disebabkan oleh adanya beban berat di atasnya seperti struktur bangunan sehingga lapisan-lapisan tanah di bawahnya mengalami kompaksi atau konsolidasi.
Penyebab yang terakhir yaitu penurunan muka tanah akibat pengambilan bahan padat dari tanah (aktivitas penambangan). Fenomena yang terjadi di Jakarta disebabkan oleh banyaknya penduduk yang ada di Jakarta menimbulkan banyaknya konsumsi air yang harus dipenuhi. Sehingga pengambilan air tanah di Jakarta cenderung berlebih.
Sejalan dengan itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan bahwa pengendalian laju penurunan muka tanah menjadi salah satu upaya penting untuk menyelamatkan Jakarta dari potensi tenggelam. Terbukti dari hasil pemetaan yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2019 silam dan juga beberapa kajian menyatakan bahwa penurunan tanah perlu dihentikan, jika tidak akan terjadi kenaikan muka air laut dan dampaknya sangat besar bagi masyarakat.
Pembangunan gedung-gedung dan pengambilan air tanah yang masif dilakukan akan menyebabkan semakin turunnya muka tanah. Penurunan muka tanah juga semakin mengancam daerah-daerah yang memiliki karakteristik seperti batuannya sangat muda, tanah lunak, gambut, dan endapan aluvial.
Saat ini setidaknya tiga kota di Indonesia yang mengalami penurunan muka tanah yang cukup tinggi yaitu di Kota Pekalongan, Kota Semarang dan DKI Jakarta. Oleh karena itu perlu, kebijakan penggunaan air tanah yang lebih bersifat preservatif terhadap cadangan air tanah yang ada saat ini. Selain itu, upaya-upaya pemanfaatan ruang perlu selaras dengan pemeliharaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Penulis: Gabriela Bunga
Sumber:
www.republika.co.id
www.kompasiana.com
www.tempo.co