Pariwisata Indonesia terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah wisatawan mancanegara pada bulan Juni 2025 mencapai 1,42 juta, atau naik 18,20% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi, namun juga menimbulkan tantangan, apabila tidak diimbangi pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang baik.
Bentuk tantangan yang dihadapi dalam pengembang pariwisata diantaranya adalah destinasi wisata yang overtourism, yakni destinasi dengan jumlah wisatawan melampaui kapasitas wilayah dan berakibat munculnya kemacetan, kebisingan, kenaikan harga barang pokok, hingga penurunan kualitas hidup masyarakat.
Bali menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan peningkatan jumlah wisatawan yang optimis. Pada Januari hingga Juli 2025, tercatat sekitar 3,98 juta kunjungan wisatawan, dan jumlah tersebut diperkirakan dapat mencapai 7 juta kunjungan hingga akhir tahun ini. Meski menunjukkan pemulihan positif pasca pandemi, pertumbuhan ini berpotensi menekan lingkungan hidup, jika tidak dikelola secara berkelanjutan.
Pemerintah Provinsi Bali telah memulai pendekatan green tourism dan ecopreneurship, dengan mendorong efisiensi energi, pengelolaan limbah terpadu, serta penggunaan kendaraan listrik di sektor pariwisata. Namun, keberlanjutan tidak hanya terkait teknologi ramah lingkungan, tetapi juga integrasi budaya lokal dalam aktivitas pariwisata.
Konsep Culture-led Development dapat menjadi kunci agar pembangunan tidak sekadar menghadirkan infrastruktur baru, tetapi juga mencerminkan narasi sejarah, nilai, dan identitas masyarakat. Contohnya pada desain arsitektur hotel dan fasilitas publik di Yogyakarta dan Bali yang tetap mengadaptasi pola ruang tradisional, seperti Tri Mandala atau Sanga Mandala untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Kolaborasi dengan komunitas dan seniman lokal juga dapat memperkuat daya tarik wisata. Contoh nyata terlihat pada Desa Wisata Penglipuran (Bali) dan Desa Wisata Nglanggeran (Gunungkidul), wisatawan datang bukan karena kemewahan fasilitas, tetapi karena keaslian budaya dan kehidupan masyarakat.
Sejalan dengan itu, Laporan UNESCO (2023) menyoroti Kota Surakarta dalam jaringan UNESCO Creative Cities Network (UCCN), yang dinilai berhasil menjadikan kreativitas sebagai pilar pembangunan berkelanjutan, tanpa mengorbankan nilai sosial-budaya. Hal ini menegaskan pentingnya mengembangkan pariwisata Indonesia dengan memadukan unsur budaya, keindahan alam, dan partisipasi aktif masyarakat.
Pemerintah daerah pun berperan penting dalam menjaga keseimbangan ini, melalui regulasi berbasis budaya, seperti pembatasan tinggi bangunan dan larangan alih fungsi lahan ritual, sebagaimana yang sudah diatur dalam Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Pembangunan Berbasis Budaya Bali.
Dengan menggabungkan nilai budaya, keunggulan alam, teknologi hijau, dan peran aktif masyarakat, pariwisata Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus melestarikan lingkungan hidup dan memperkuat identitas budaya bangsa.
Sejatinya, pembangunan berkelanjutan bukan berarti menolak pembangunan, tetapi memastikan setiap langkah pembangunan berada dalam batas daya dukung alam dan berkeadilan sosial.
Penulis: Ratih Putri Salsabila
Sumber:
https://wri-indonesia.org/
https://www.thejakartapost.com/
https://kumparan.com/
https://mpar.upi.edu/
https://www.unesco.org/