Para pengusaha muda yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengaku sulit naik kelas dari pengusaha muda menjadi konglomerat di negeri ini. Bahkan Badan Pengurus Pusat HIPMI menyebut, satu persen warga kaya menguasai 50,3 % aset atau kekayaan nasional. Dengan demikian kesenjangan ekonomi semakin jelas tergambarkan. Ke depan kesenjangan ini dapat menjadi masalah sosial yang serius bagi negara.
Perekonomian nasional terus mengalami pertumbuhan yang positif sebab ditunjang oleh potensi dan stabilitas yang kuat. Namun pertumbuhan tidak berlangsung dengan sehat, sebab hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Sejak reformasi 1998 lalu para konglomerat belum banyak berganti sampai tahun ini.
Menurut Ketua Umum HIPMI Bahlil Lahadalia, sulit menjadi konglomerat di Indonesia karena kekayaan di dalam negeri terlanjur dikuasai oleh sekelompok orang yang sama. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan fenomena itu terjadi yaitu, faktor keturunan, dan perilaku yang berbeda yang diberikan pemerintah kepada pengusaha di masing-masing kalangan. Misal saja proses administrasi yang kerap menyusahkan, khususnya di daerah padahal pengusaha menengah dan kecil banyak muncul disana.
Demikian yang dikatakan oleh Ekonom sekaligus Dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susanto. Selain perlu kebijakan-kebijakan yang rinci dan dengan tingkat kesetaraan yang adil, misalnya saja RUU Kewirausahaan yang pembahasannya terus dibahas sampai sekarang. Pemerintah juga perlu menjaga iklim investasi. Sebab, iklim yang kondusif membuat investor mau masuk ke dalam negeri.
Selanjutnya, pemerintah diminta memaksa pengusaha besar untuk mau ikut merangkul yang menengah dan kecil dalam rantai bisnis (supply chain). Misalnya, perusahaan konstruksi besar turut melibatkan kontraktor kecil atau pengusaha manufaktur besar, ambil bahan dari distributor menengah dan kecil, bukan dari anak usahanya sendiri melulu. Ada hal yang menghalangi para konglomerat terkemuka Indonesia belum mau membiasakan diri berinvestasi di kancah startup.
Menurut Peneliti Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, konglomerat sangat terbiasa dengan model bisnis tradisional yang fokusnya menghasilkan keuntungan cepat dan berbasis aset. Di sisi lain, startup lebih mengejar impian, daya tarik, penilaian, leverage, dan dominasi pasar. Rendahnya angka investasi konglomerat kepada startup juga karena sebagian besar masih berinvestasi secara tradisional, seperti melihat tingkat pengembalian tinggi dan investasi pengembalian. Sedangkan model itu tidak berlaku dalam investasi ke startup yang menganggap modal yang sudah dikeluarkan sebagai uang yang hangus.
Saat ini, properti menjadi instrumen investasi yang favorit bagi konglomerat di Indonesia bahkan dunia karena dianggap menguntungkan. Sebagai gambaran, mengutip laman CNBC Make-it (5/10/2019), miliarder Andrew Carnegie mengungkapkan 90 persen miliarder jadi kaya raya seperti sekarang karena mereka berinvestasi di bidang properti.
Sesuai dengan Wealth Report (2020) yang diterbitkan oleh Knight Frank, disebutkan bahwa Indonesia saat ini masih menjadi negara yang cukup prospektif dalam pertumbuhan properti. Diantaranya diindikasikan melalui temuan bahwa, pembeli properti di Sentosa Singapura diantaranya datang dari Indonesia, selain Cina, India dan Amerika.
Masih dari sumber yang sama, Indonesia diprediksi memiliki pertumbuhan UHNWI (Ultra HIgh-Net-Worth Individual) yang cukup tinggi, yaitu mencapai 57%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan UHNWI di dunia yang mencapai 44% dalam periode yang sama (2019-2024). Atau posisi Indonesia berada di tingkat ke-5 dalam pertumbuhan UHNWI di dunia, setelah India, Mesir, Vietnam dan Cina.
Penulis: Miranda Louisa
Sumber:
https://www.thejakartapost.com/
https://finance.detik.com
https://www.cnnindonesia.com/
https://www.cnnindonesia.com/
https://www.wartaekonomi.co.id/
https://www.cnbc.com/
https://properti.kompas.com/