Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah belakangan ini, menimbulkan perhatian publik. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sebanyak 104 daerah di Indonesia telah menaikkan tarif PBB-P2 dan menggambarkan situasi yang patut dicermati, karena 20 di antaranya memberlakukan kenaikan di atas 100%.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa dari 20, hanya tiga daerah yang menerapkan kenaikan di atas 100% pada tahun 2025, sisanya adalah kelanjutan dari kebijakan sebelumnya yang baru terefleksi pada saat ini.
Bima pun mengatakan, Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan surat imbauan kepada seluruh pemerintah daerah untuk mengevaluasi kembali kenaikan PBB-P2. Menurutnya, keterampilan membaca kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah dan keterbatasan dalam melakukan sosialisasi, turut memengaruhi dinamika yang muncul akibat kenaikan tersebut.
PBB-P2 sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah pedesaan maupun perkotaan, kecuali yang digunakan untuk kegiatan usaha sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan pemerintah daerah setiap tahun.
Pajak ini menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Oleh sebab itu, regulasi ini dimanfaatkan oleh sebagian daerah untuk meningkatkan pendapatan, terutama untuk kebutuhan pembiayaan infrastruktur.
Kenaikan PBB-P2 juga dipicu banyaknya daerah yang selama bertahun-tahun tidak melakukan penyesuaian NJOP, sehingga ketika dilakukannya revaluasi tanah dan bangunan, nilai pajak melonjak tajam. Pemerintah pun dapat menaikkan tarif pajak hingga 0,5% (sebelumnya maksimal 0,3%), sejak diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
Namun, kenaikan mendadak dapat memunculkan “tax shock” di tengah masyarakat, sebab dalam hitungan satu tahun, beban pajak dapat naik ratusan hingga ribuan persen.
Seperti di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sejumlah objek pajak menunjukkan lonjakan drastis. Sebuah rumah di Jalan dr. Wahidin Sudirohusodo, dengan tagihan PBB-P2 yang melonjak 791% dari sekitar Rp 292.631 pada tahun sebelumnya, menjadi Rp 2.314.768. Beberapa warga pun mengakui bahwa pajak tanahnya tahun 2023 ke 2024, naik 1.202% atau 12 kali lipat dan tak mampu membayarnya.
Sementara di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pemerintah daerah sempat berencana menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250% setelah 14 tahun tidak naik. Rencana ini memicu keresahan warga, hingga akhirnya dibatalkan oleh Bupati Pati, pada 7 Agustus 2025 kemarin.
Idealnya, pemerintah daerah melakukan penyesuaian secara bertahap dan memastikan transparansi perhitungan NJOP, sehingga masyarakat dapat memahami dasar penetapan pajak. Sosialisasi sebelum diberlakukannya kebijakan juga penting dilakukan, untuk menyediakan mekanisme keberatan dan keringanan bagi masyarakat sesuai kemampuannya.
Penulis: Ratih Putri Salsabila
Sumber:
https://jdih.kemenkeu.go.id/
https://www.detik.com/
https://www.tempo.co/
https://www.bbc.com/
https://www.metrotvnews.com/